Apa
yang dimaksud dengan khilafah menjadi soal penting yang harus dijelaskan,
karena propaganda massif untuk menyalahgunakan istilah tersebut kelihatannya
semakin hari semakin membabi buta.
Kita
akan mulai dengan segi bahasa. Secara bahasa khilafah adalah kata infinitif
atau dalam tata bahasa Arab masdar dari kata khalafa-yahlifu artinya
adalah mengganti. Abu Bakar as-Shiddiq adalah orang pertama yang diberi gelar
Kholifatu Rosulillah artinya pengganti Rasulullah. Kemudian Umar bin Khattab
bergelar Kholifatu Kholifati Rosulillah artinya pengganti dari pengganti
Rasulullah.
Penggunaan
gelar khalifah ini kemudian tidak berhenti pada Khulafaur Rasyidin saja tapi
berlanjut pada pemerintahan yang dipimpin muslim pada masa-masa berikut:
Umayyah, Abbasiyah, Fathimiyyah, Ayyubiyyah, Buwaihiyyah, Muwahhidin hingga
Utsmaniyah. Jadi semua pemimpin muslim lintas prmerintahan dan generasi
menggunakan gelar khalifah untuk memperkuat legitimasinya.
Pemahaman
kita tentang khilafah ini akan semakin baik kalau kita kembali membuka sejarah.
Pasca wafatnya Rasulullah, ada satu peristiwa sejarah penting namanya Saqifah
Bani Saidah. Sebuah pertemuan tokoh-tokoh elit, para pemimpin kabilah
membicarakan siapa pemimpin yang menggantikan Rasulullah. Tokoh-tokoh Qurays,
Aus, Khazraj berdebat panjang, masing-masing kabilah merasa memiliki peran
berjuang bersama Rasulullah dan berhak memimpin.
Abu
Bakar menawarkan Umar bin Khattab atau Zubair sebagai representasi Qurays tapi
kemudian banyak yang tidak setuju dan gaduh. Pemimpin Kabilah Khazraj Sa'ad bin
Ubadah adalah orang yang paling kukuh menolak dominasi Qurays, ia menganggap
Khazraj atau Aus juga berhak memimpin. Tapi sikap Saad tidak banyak pendukung,
bahkan tawarannya agar Khazraj atau Aus menjadi perdana menteri (wazir) bagi
Qurays pun ditolak. Akhirnya terpilihlah Abu Bakar as-Shiddiq dan mayoritas hadirin
menerima dan berbaiat kecuali Sa'ad.
Sebelum
Abu Bakar wafat, ia melihat potensi kegaduhan Saqifah terulang, sehingga ia
ber-ijtihad menunjuk Umar bin Khattab sebagai khalifahnya. Berbeda dengan
Abu Bakar, sebelum wafat Umar memilih enam orang menjadi nominasi khalifah yang
bisa memilih dan dipilih (ahlul halli wal aqdi) hingga terpilihlah
Utsman bin Affan. Dan yang terakhir Ali bin Abi Thalib dipilih oleh khalayak
ramai saat kondisi politik tidak stabil pasca Utsman wafat dibunuh.
Sejarah
tersebut adalah fakta yang tak dapat dipungkiri. Bahwa kepemimpinan bagi umat
Islam menjadi hal yang sangat penting tidak dapat dibantah. Hanya saja sebagai
umat berakal kita tetap layak bertanya.
Pertanyaannya
adalah kenapa di dalam al-Quran tidak dijelaskan soal khilafah ini?
Al-Quran
memang universal, tapi kenapa pula Rasulullah tidak menjelaskan dalam
hadistnya? Padahal biasanya hadist berbicara detail bahkan untuk hal-hal yang
privat sekalipun. Kenapa hal yang sangat penting bisa terlewat? Kenapa para Sahabat
Rasulullah yang paling tahu seluk beluk al-Quran dan hadist harus berdebat
berhari-hari untuk memilih pengganti Rasulullah dan kejadian yang sama selalu
berulang setiap pergantian khalifah, sehingga masing-masing terpilih dengan
cara yang berbeda?
Jawabnya
adalah karena al-Quran dan hadist memang tidak mengatur soal khilafah
ini.
Seandainya
Islam adalah sistem pemerintahan atau sebut saja negara, tentu proses pemilihan
pemimpinnya tidak serumit khulafaur rasyidin. Karena galibnya
pemerintahan adalah sistem yang punya aturan main yang jelas. Misalnya kerajaan
monarki absolut yang tidak punya konstitusi tapi suksesi kekuasaannya adalah
turun-temurun. Misal yang lain monarki konstitusional atau republik yang
sistemnya diatur oleh konstitusi.
Dalam
Islam yang demikian itu tidak ada. Al-Quran adalah kitab suci yang sudah pasti
lebih mulia dari sekedar konstitusi sebuah negara. Hadis adalah kumpulan
perkataan, tidak-tanduk dan ketetapan Rasulullah yang bisa saja menjadi sumber
inspirasi norma, tapi tidak bisa dianggap sebagai konstitusi sebuah
pemerintahan.
Ahlussunnah
sebagai kelompok Islam terbesar memandang persoalan khilafah ini masalah dalam
lingkup pemikiran (ijtihadiyah) bukan syariat. Karenanya mereka
menolak klaim kelompok Syiah yang menggunakan Hadits Ghadir Khum sebagai dalil
bahwa khalifah yang sah sesudah Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib
berdasarkan teks (nash) hadist.
Ahlussunnah
beranggapan ijtihad para Sahabat, baik dalam peristiwa Saqifah atau peristiwa
dalam suksesi khalifah selanjutnya adalah yang absah dan tidak perlu dalil
karena khilafah adalah masalah ijtihadiyah. Karenanya jika ada yang
menganggap khilafah bagian dari syariat tentunya berada diluar kerangka
Ahlussunnah.
Pemahaman
keliru menganggap khilafah adalah syariat salah satunya diilhami dengan fakta
sejarah bahwa para Sahabat memilih mendahulukan suksesi kepemimpinan di Saqifah
Bani Saidah daripada merawat jenazah Rasulullah. Yang jarang disadari peristiwa
Saqifah itu tidak lebih dari proses mencari atau mengangkat pemimpin. Seorang
pemimpin untuk memimpin kaum muslimin mengantikan Rasulullah. Sebab apabila
waktu itu tidak segera diangkat pengganti Rasulullah maka jazirah Arab akan
kembali pada kesukuan sebagaimana masa sebelum Islam.
Persoalan
mengangkat pemimpin agar tidak ada kekosongan pemerintahan (nashbul imam) ini
adalah wajib hukumnya, karena tanpa pemerintahan masyarakat akan kacau. Saking
pentingnya soal mengangkat pemimpin dalam banyak riwayat, Rasulullah
memerintahkan untuk memilih pemimpin untuk sebuah rombongan perjalanan. Dalam
riwayat lain yang tak kalah banyaknya, Rasulullah juga mewajibkan ketaatan pada
pemimpin, walau ia seorang budak. Termasuk dalam hal ini adalah larangan
memberontak pemerintahan yang sah (bughot).
Khazanah
pengetahuan Islam kemudian mencatat bahwa politik yang sesuai dengan
syariat (siyasah syar'iyah) isinya dipenuhi dengan tetek-bengek terkait
mengangkat pemimpin (nashbul imam) tersebut. Banyak karya ditulis
baik yang dikarang secara khusus seperti as-Siyasah Syar'iyah karya
Ibnu Taimiyah, Nasihatul Umam wal Muluk karya al-Ghazali dan Ahkamus
Sulthoniyah karya al-Mawardi; maupun diselipkan dalam kitab-kitab fikih
dari berbagai mazhab. Inti bahasannya adalah mengangkat pemimpin hukumnya
wajib, karena tidak ada kemaslahatan tanpa adanya pemimpin.
Dalam
perjalanan lintas generasi selama berabad-abad, praktik umat Islam tentang nashbul
imam ini linear tidak ada kontroversi sama sekali. Setelah khulafaur
rasyidin datang, beraneka ragam dinasti, daulah, kerajaan, kesultanan
berdiri dengan kelebihan dan kekurangan masing-masing. Secara teoritik segudang
literatur siyasah syar'iyah juga selalu menitikberatkan pada sosok
sang pemimpin: kualifikasinya, syarat-syaratnya, nasehat untuk para pemimpin
dan lain-lain. Tidak ada yang mengupas tuntas sistem pemerintahan atau
bentuk negara.
Era khulafaur
rasyidin yang diidealkan dalam siyasah syar'iyah juga menekankan
pada empat sosok khalifahnya sebagai pemimpin terbaik sesudah Rasulullah dan
bukan pada bentuk atau pengelolaan pemerintahannya. Hal ini mengisyaratkan
bahwa dalam Islam memang tidak ada sistem pemerintahan tertentu yang dianggap
ideal.
Sebagai
kesimpulan, kepemimpinan adalah hal yang sangat penting menurut agama Islam.
Pemerintahan yang membawa umat pada kemaslahatan bersama adalah salah satu
tujuan yang didambakan oleh agama. Tidak ada kewajiban mendirikan negara Islam,
karena dalam Islam tidak ada bentuk pemerintahan yang ideal, yang wajib adalah
mengangkat pemimpin atau tergabung dalam sebuah pemerintahan. Dalil-dalil
yang selama ini disalahpahami sebagai dalil yang mewajibkan pendirian negara
Islam sebenarnya adalah dalil untuk mengangkat pemimpin (nashbul imam) tersebut.
Sejarah
membuktikan bahwa khilafah awalnya hanyalah istilah yang digunakan untuk
pemerintahan khulafaur rasyidin sebagai pemimpin-pemimpin terbaik
pengganti Rasulullah, yang kemudian diadopsi oleh penguasa-penguasa Muslim dari
berbagai generasi semata-mata untuk memperkuat legitimasi kekuasaannya.
Wallahua'lam