Sang Pencipta Lambang Nahdhatul Ulama yang elegan itu adalah
anak sulung dari enam bersaudara dari pasangan Kyai Abdullah dan Nyai
Marfu’ah, lahir di kampung Carikan Gang I, Praban, Kelurahan Alun-alun Contong,
Kecamatan Bubutan, Surabaya, pada tahun 1884.
Pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanya kemudian mengirimnya ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kyai Ridhwan, Abdullah, memang berasal dari Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu.
Pendidikan dasarnya diperoleh di sekolah Belanda. Agaknya di situlah, dia mendapatkan pengetahuan teknik dasar menggambar dan melukis. Dia tergolong murid yang pintar, sehingga ada orang Belanda yang ingin mengadopsinya. Belum selesai sekolah di situ, orangtuanya kemudian mengirimnya ke Pesantren Buntet di Cirebon. Ayah Kyai Ridhwan, Abdullah, memang berasal dari Cirebon, Ridwan adalah anak bungsu.
Setelah lulus dari sekolah setingkat Sekolah Dasar, beliau
mondok di sejumlah pesantren, di antara salah satunya adalah di pesantren
Syeikh Kholil Bangkalan. Beliau ikut ndalem Syeikh Kholil, membantu
urusan rumah tangga Syeikh Kholil, seperti bersih-bersih rumah, mencuci pakaian
dan mengasuh putera Syeikh Kholil dan lain-lain. Setelah lama nyantri di
pesantren Syeikh Kholil dan membantu urusan rumah tangganya, suatu ketika
Syeikh Kholil berteriak:
“Maling, maling….! Sambil menuding ke arah Kyai Ridhwan
Abdullah.
Serentak saja ia lari pontang panting demi menghindari
amukan para santri yang membawa alat pukul sekenanya. Untung Kyai Ridhwan
Abdullah berhasil lolos, sehingga tidak babak belur diamuk para santri.
Sampai di rumah diceritakanlah apa yang terjadi kepada orang
tuanya yang terkejut melihat penampilan anaknya yang dekil dan lusuh. Mendengar
itu, ayahnya pergi ke Bangkalan guna melakukan klarifikasi. Alangkah kagetnya
Kyai Abdullah (ayah Kyai Ridhwan), sebelum satu patah kata pun diucapkan,
Syeikh Kholil Bangkalan sudah berkata terlebih dahulu:
“Anakmu itu nakalan, wong sudah pinter, sudah banyak
menguasai ilmuku, kok masih betah di sini, kalau tidak pakai cara itu, dia
tidak akan mau pulang” Jelasnya.
Setelah itu Kyai Ridhwan Abdullah meneruskan belajarnya
di Tanah Suci. Bahkan sempat dua kali, pertama dari tahun 1901 sampai tahun
1904, dan yang kedua dari tahun 1911 sampai tahun 1912. Maka mulai dari tahun
1912 inilah, beliau pulang ke Tanah Air dan menetap di Surabaya.
TENTANG BELIAU
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang dermawan. Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau, selain diberi nasihat juga diberi uang, padahal beliau sendiri tidak tergolong orang kaya.
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang dermawan. Setiap anak yang berangkat mondok dan sowan ke rumah beliau, selain diberi nasihat juga diberi uang, padahal beliau sendiri tidak tergolong orang kaya.
Di kalangan ulama pondok pesantren, Kyai Ridhwan Abdullah
dikenal sebagai ulama yang memiliki ilmu pengetahuan agama dan pengalaman yang
luas. Pergaulan beliau sangat luas dan tidak hanya terbatas di kalangan pondok
pesantren.
Di samping itu, beliau dikenal sebagai ulama yang memiliki
keahlian khusus di bidang seni lukis dan seni kaligrafi. Salah satu karya
beliau adalah bangunan Masjid Kemayoran Surabaya. Masjid dengan pola arsitektur
yang khas ini adalah hasil rancangan Kyai Ridhwan Abdullah.
Sebagai Kyai, Ridhwan Abdullah lebih banyak bergerak di
dalam kota. Dalam beberapa hal, dia tidak sependapat dengan Kyai yang tinggal
di pedesaan. Misalnya, sementara Kyai di pedesaan mengharamkan kepiting, ia
justru menghalalkannya.
Ia dapat dikategorikan sebagai Kyai inteletual. Pergaulannya
dengan tokoh nasionalis seperti Bung Karno, Dr. Sutomo, dan H.O.S Tjokroaminoto
cukup erat. Apalagi, tempat tinggal mereka tidak berjauhan dengan rumahnya, di
Bubutan Gang IV/20.
Kyai Ridhwan Abdullah dikenal sebagai Kyai yang low
profile, baik dalam bermasyarakat maupun dalam berorganisasi, bersahaja
dan sederhana. Meskipun di rumah mertuanya tersedia beberapa kereta kuda bahkan
ada juga sepeda motor, untuk keluar rumah, Kyai Ridhwan Abdullah lebih memilih
berjalan kaki dengan kitab salaf di tangan kanan dan payung hitam di tangan kirinya.
Biasanya, di belakangnya ikut satu dua anak kecil yang dengan setia
mengikutinya, baik sekedar untuk bermain hingga menghadiri pengajian yang
dipimpinnya. Nampaknya, gemerlap harta tidak membuat Kyai Ridhwan
Abdullah terlena (bahkan di kemudian hari, beliau rela menjual beberapa
tokonya demi NU). Hari-hari beliau disibukkan dengan hal-hal ukhrawi. Hampir
tiap malam beliau mengisi pengajian dari mushalla atau masjid satu ke lainnya,
masuk keluar kampung.
Semasa hidupnya Kyai Ridhwan Abdullah sempat menikah dua
kali. Dari pernikahan pertama lahir KH. Mahfudz, KH. Dahlan (keduanya anggota
TNI) dan Afifah. Setelah sang istri wafat, beliau menikah lagi hingga lahir
juga tiga anak, yaitu KH. Mujib Ridhwan, KH. Abdullah Ridhwan dan Munib.
Beliau adalah salah satu motor penggerak lahirnya Nahdhatul
Ulama, selain Kyai Wahab Chasbullah dan Mas Alwi. Kyai Wahab Chasbullah dengan
gagasan-gagasan cemerlangnya, Mas Alwi dengan usulan namanya dan Kyai Ridhwan
Abdullah dengan desaine lambangnya.
PERJUANGAN BELIAU
Kyai Ridhwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren. Tetapi beliau dikenal sebagai guru agama, muballigh yang tidak kenal lelah. Beliau diberi gelar ‘Kyai Keliling’. Maksudnya Kyai yang menjalankan kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Kyai Ridhwan Abdullah tidak memiliki pondok pesantren. Tetapi beliau dikenal sebagai guru agama, muballigh yang tidak kenal lelah. Beliau diberi gelar ‘Kyai Keliling’. Maksudnya Kyai yang menjalankan kewajiban mengajar dan berdakwah dengan keliling dari satu tempat ke tempat yang lainnya.
Biasanya, Kyai Ridhwan Abdullah mengajar dan berdakwah pada
malam hari. Tempatnya berpindah-pindah dari satu kampung ke kampung lainnya dan
dari satu surau ke surau yang lain. Daerah-daerah yang secara rutin menjadi
tempat beliau mengajar adalah kampung Kawatan, Tembok dan Sawahan.
Sebelum Nahdhatul Ulama (NU) berdiri, Kyai Ridhwan Abdullah
mengajar di Madrasah Nahdhatul Wathan –lembaga pendidikan yang
didirikan oleh Kyai Wahab Chasbullah pada tahun 1916. Beliaulah yang berhasil
menghubungi Kyai Mas Alwi untuk menduduki jabatan sebagai kepala Madrasah Nahdhatul Wathan menggantikan
Kyai Mas Mansyur. Beliau juga terlibat dalam kelompok diskusi Tashwirul
Afkar (1918), dua lembaga yang menjadi embrio lahirnya organisasi
Nahdhatul Ulama (NU). Ketika NU sudah diresmikan, ia aktif di Cabang Surabaya
dan mewakilinya dalam muktamar ke-13 NU di Menes, Pandeglang, pada tanggal 15
Juni 1938.
Dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia Kyai Ridhwan
Abdullah ikut bergabung dalam barisan Sabilillah. Pengorbanan beliau tidak
sedikit, seorang puteranya yang menjadi tentara PETA (Pembela Tanah Air) gugur
di medan perang. Pada tahun 1948, beliau ikut berperang mempertahankan
kemerdekaan RI dan pasukannya terpukul mundur sampai ke Jombang.
Banyak jasa perjuangan Kyai Ridhwan Abdullah, di antaranya
beliaulah yang mengusulkan agar para syuhada yang gugur dalam pertempuran 10
Nopember 1945 dimakamkan di depan Taman Hiburan Rakyat (THR). Tempat inilah
yang kemudian dikenal dengan Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa.
Kyai Ridhwan Abdullah sendiri meninggal dunia tahun 1962,
dan dimakamkan di pemakaman Tembok, Surabaya. Bakat dan keahlian beliau dalam
melukis diwarisi oleh seorang puteranya, KH. Mujib Ridhwan.
JASA BELIAU
Nama Kyai Ridhwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jam’iyah NahdhatulUlama. Pada susunan pengurus NU periode pertama, Kyai Ridhwan Abdullah masuk menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain menjadi anggota Pengurus Besar NU, beliau juga masih dalam pengurus Syuriyah NU Cabang Surabaya.
Nama Kyai Ridhwan Abdullah tidak bisa dipisahkan dari sejarah pertumbuhan dan perkembangan Jam’iyah NahdhatulUlama. Pada susunan pengurus NU periode pertama, Kyai Ridhwan Abdullah masuk menjadi anggota A’wan Syuriyah. Selain menjadi anggota Pengurus Besar NU, beliau juga masih dalam pengurus Syuriyah NU Cabang Surabaya.
Pada tanggal 12 Rabiul Awal 1346 H, bertepatan dengan
tanggal 9 Oktober 1927 diselenggarakan Muktamar NU ke-2 di Surabaya. Muktamar
berlangsung di Hotel Peneleh. Pada saat itu peserta muktamar dan seluruh warga
Surabaya tertegun melihat lambang Nahdhatul Ulama yang dipasang tepat pada
pintu gerbang Hotel Peneleh. Lambang itu masih asing karena baru pertama kali
ditampilkan. Penciptanya adalah Kyai Ridhwan Abdullah.
Untuk mengetahui arti lambang NU, dalam Muktamar NU ke-2 itu
diadakan majelis khusus, pimpinan sidang adalah Kyai Raden Adnan dari Solo.
Dalam majelis ini, pimpinan sidang meminta Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan
arti lambang NU.
Secara rinci Kyai Ridhwan Abdullah menjelaskan semua isi
yang terdapat dalam lambang NU itu. Beliau menjelaskan:
“Lambang tali adalah lambang agama. Tali yang melingkari
bumi melambangkan Ukhuwah Islamiyah kaum muslimin seluruh dunia.
Untaian tali yang berjumlah 99 melambangkan Asmaul Husna. Bintang
besar yang berada di tengah bagian atas melambangkan Nabi Besar Muhammad SAW.
Empat bintang kecil samping kiri dan kanan melambangkan Khulafaur
Rasyidin, dan empat bintang di bagian bawah melambangkan madzhabul arba’ah (empat
madzhab). Sedangkan jumlah semua bintang yang berjumlah sembilan
melambangkan Wali Songo.”
Setelah mendengarkan penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah,
seluruh peserta majelis khusus sepakat menerima lambang itu. Kemudian Muktamar
ke-2 Nahdhatul Ulama memutuskannya sebagai lambang Nahdhatul Ulama. Dengan
demikian secara resmi lambang yang dibuat oleh Kyai Ridhwan Abdullah menjadi
lambang Nahdhatul Ulama.
Sesudah upacara penutupan Muktamar, Hadratus Syeikh KH.
Hasyim Asy’ari memanggil Kyai Ridhwan Abdullah dan menanyakan asal mula
pembuatan lambang NU yang diciptakannya. Kyai Ridhwan Abdullah menyebutkan
bahwa yang memberi tugas beliau adalah Kyai Wahab Chasbullah. Pembuatan gambar
itu memakan waktu satu setengah bulan.
Kyai Ridhwan Abdullah juga menjelaskan bahwa sebelum
menggambar lambang NU, terlebih dahulu dilakukan shalat istikharah, meminta
petunjuk kepada Allah SWT. Hasilnya, beliau bermimpi melihat sebuah gambar di
langit yang biru jernih. Bentuknya persis dengan gambar lambang NU yang kita
lihat sekarang.
Setelah mendengar penjelasan Kyai Ridhwan Abdullah, Hadratus
Syeikh KH. Hasyim Asy’ari merasa puas. Kemudian beliau mengangkat kedua tangan
sambil berdoa. Setelah memanjatkan doa beliau berkata:
“Mudah–mudahan Allah mengabulkan harapan yang dimaksud
di lambang Nahdhatul Ulama.”